Tentang Slulup, Gragas dan Kesadaran
19 April 2017 by: Redaksi - Dilihat 556 kali

SLULUP itu bukan soal mencari ikan atau sekadar area bermain bagi anak-anak di kampung kami. Slulup adalah seni dan kegembiraan permainan yang mengasah adrenalin. Bisa dibilang, mempertaruhkan nyawa. Slulup adalah permainan yang hanya bisa dilakukan anak-anak dengan keberanian ekstra. Meski pada dasarnya, tak butuh keterampilan khusus.

Slulup hanya butuh mental "berani" menceburkan diri ke air, lalu tanpa perlu banyak gerak, seseorang yang masuk ke air, pasti tenggelam. Proses selama tenggelam yang sebenarnya, siapa pun tak mampu bertahan lama kecuali terbiasa. Jika berhasil melek dan sedikit agak lama di alam lain dalam air itu, kita akan merasakan daya kejut yang penuh sensasi. Udang atau ikan mendadak muncul dengan tampilan yang menakutkan sekaligus membuat rasa ingin menangkapnya kian binal.

Pernah suatu ketika, terlalu asyik mengejar udang yang terlihat besar itulah, saya mengalami tubuh yang semuanya seperti mati rasa. Lumpuh dan nyaris tak punya kesadaran. Beruntung, teman-teman slulup kami punya cara tersendiri ketika anak yang klelep diselamatkan. Cara efektif untuk memberikan pertolongan pertama jika ada salah satu dari kami yang terserang penyakit dekompresi.

Sebenarnya, anak-anak yang slulup, membangkang larangan orang tua, mencuri-curi waktu sepulang sekolah itu, bukan di luar kesadaran. Sepenuhnya sadar dan ikan yang didapat juga tidak seperti yang diperkirakan. Tidak sebanyak yang dipikirkan. Terkadang hanya dapat udang tiga biji, mencarinya sudah hampir mati akibat Decompression Sickness.

Tepatnya, anak-anak yang slulup itu bukan anak yang kelaparan. Butuh jajan atau keinginan kanak-kanak yang sangat primer, bahkan tidak juga bisa digolongkan jadi kebutuhan skunder. Tidak ketemu hubungan antara keinginan makan ikan dengan slulup. Mencari ikan, jauh lebih banyak didapatnya dengan cara mancing atau menyeser. Slulup adalah kesempurnaan laku gragas anak-anak.

Anak-anak gragas, punya dalih apa pun untuk melakukan hal-hal di luar kewajaran.

Saya akan cerita, bagaimana kebiasaan slulup bisa berhenti. Bukan dipaksa dan diberhentikan oleh orang tua kami yang cerewet. Larangan-larangan slulup atau masuk ke air karena alasan-alasan yang justru membuat kami tertantang. Misalnya, jangan jeguran, airnya dalam. Arusnya deras. Atau seperti cerita-cerita yang dilebih-lebihkan orang tua di kampung kami tentang anak-anak yang mati dimakan dibuaya. Bahkan ada yang sangat jengkel dengan kelakuan anak-anak slulup, ada sekelompok orang tua yang sengaja membuat manipulasi, anak yang meninggal karena dibunuh disebarkan berita. Akibat anak itu slulup.

Saya dan rombongan anak-anak yang masuk kluster "anak masjid" secara mengejutkan, sadar dan tidak mau slulup lagi kecuali di kolam renang. Bahkan, seiring bau kaporit dan minimnya tantangan di kolam renang, kami benar-benar berhenti total dari kebiasaan slulup setiap habis lohor.

Kesadaran yang saya maksud adalah self-awareness dan self-consciousness. Cuk, soal consciousness ini mesti teoritik dan berbasis ilmu-ilmu psikologi. Setidaknya, menurut OED kalau tidak lupa ada enam defenisi kesadaran itu. Apa saja, ya embuhlah. Mana ngerti saya.

Pokoknya, apakah tidak mau slulup dengan sendirinya itu bagian dari kesadaran atau bukan? Menurut kami, membuat senang orang tua. Kami tidak mau slulup lagi titik.

Secara subjektif, sikap itu kemudian kami sepakati sebagai kesadaran karena menjadi pengetahuan bersama, sekaligus perasaan menyadari sesuatu yang membuat kami tahu masalah "larangan orang tua" bahwa slulup mencari udang atau ikan itu menjadikan kami sebagai anak gragas.

Apa yang membuat kami berhenti?

Pertama, akibat tahu kalau sungai yang kami gunakan slulup itu ternyata kotor. Tempat warga di kampung kami membuang hajat, membuang sampah dan beberapa pabrik membuang limbah.

Kedua, kami enggan slulup lagi setelah kami tahu, kalau proses mencari ikan semakin menegaskan bahwa kami adalah anak gragas. Anak gragas yang membuat panggilan "Bocah Spontan" itu serasa menyakitkan di telinga. Mengesankan, anak spontan adalah lingsang. Badannya kumal, kulitnya bersisik, rambutnya kering meranggas kuning jagung karena tak pernah diolesi minyak cemceman atau minyak kemiri. Anak-anak gragas adalah stereotipe wajah masyarakat abangan. Sementara kami merasa bangga ketika jadi priyayi yang wajahnya bersih-bersih, kulitnya sehat tidak mbekusik. Fisiknya prima dan trengginas, tidak nylekutdis.

Ketiga, kami bisa belajar pernafasan dengan tanpa slulup. Yakni, melatih prana. Bahkan terbukti bisa lebih efektif. Selain terasa lebih sehat dan menyenangkan orang tua, badan kami serasa lebih segar.

Intinya, menurut kami kebiasan slulup itu cara menghentikannya mudah. Sebab, itu bagian dari easy problems. Sementara kami harus makan itulah saat ini yang menjadi permasalahan sukar atau hard problem. Anehnya, kenapa cara menghentikan masalah mudah itu justru dengan kekerasan dan pembunuhan? Oya, bagaimana kalau slulup itu sama dengan begal? (*)

Add a Comment

Memang, perjuangan itu belum tentu menunjukkan hasil, namun memulai sikap dan di posisi mana dalam ranah berjuang, penting dikokohkan sebagai bagian dari integritas jiwa muda yang berposisi, beroposisi atau terlibat, tentu saja dengan tetap berpikir merdeka.

Begal ...................... ( 17 )

Lek Tekat ...................... ( 20 )

Sari ...................... ( 43 )

Peristiwa ...................... ( 29 )